Lagi ramai-ramainya kartel
nih, beberapa waktu yang lalu honda dan yamaha diputus bersalah oleh Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) karena dugaan kertel penjualan motor kelas
skuter matic 110-125 cc. Keduanya dikenakan denda honda 22,5 Miliyar sedangkan
Yamaha lebih besar lagi 25 Miliyar.
Menurut KPPU harga motor
matic kelas 110-125 cc saat ini disinyalir tidak wajar, mengingat dengan biaya
produksi, biaya kirim (transportasi), dan biaya pajak serta bbn sekalipun
seharusnya harga ideal motor matic ada di rentang harga 12 jutaan per unitnya.
Kemudian dari harga real dilapangan
malah berkisar lebih mahal 3-5 juta rupiah selisih yang tidak sedikit.
Atas dakwaan tersebut KPPU
juga merekomendasikan putusan lain kepada Hakim, total ada 5 rekomendasi
putusan yaitu
1. Pembuktian pelanggaran
pasal 5 ayat 1 UU no.5 tahun 1999
2. Menghukum Honda dan
Yamaha
3. Merekomendasikan menjual
motor secara Off The Road
4. Melarang memberikan harga
referensi kepada main dealer atau dealer
5. Memberi pilihan bagi
konsumen untuk mengurus BBN sendiri dan biaya tambahan lainnya.
Oke dari kelima rekomendasi
putusan tersebut saja, masih ada beberapa poin yang mengganjal. Bjr menyoroti
pada poin 3, 4, dan 5 sebenarnya masih ada masalah yang harus di tuntaskan.
Pada poin 3 dan 5 sebenarnya memang adalah pilihan konsumen entah itu mau
membeli motor dalam kendaraan tanpa kelengkapan surat (off) maupun dengan
surat-surat (on).
Masalahnya sebagian besar
penjualan motor di Indonesia adalah dengan cara kredit atau lewat lembaga
pembiayaan (finance/ leasing), jika pun dengan harga off the road tentu ada kebijakan yang perlu di rubah, toh selama
ini pembeli motor (konsumen) juga terkesan tidak mau repot menggurus surat2 kendaraan
apalagi dengan sistem kredit, ah betapa ribet pastinya beli motor kredit ->
off the road – leasing – surat2.
Akan tetapi yang perlu
disoroti dari putusan tersebut pihak KPPU seperti yang dikutip dari tempo tidak
bisa menunjukkan adanya kesepakatan antara Yamaha dan Honda untuk mempermainkan
harga di segmen skutik 110-125 cc. Menurut pihak Yamaha harga yang dianggap
mahal tersebut sebagai akibat dari beban pajak yang tinggi.
Sebagai contoh mio gt keluar
dari pabrik sebelum pajak harga 9,335 juta setelah kena pajak ppn dan pph
menjadi 10,300 juta, kemudian harga yang harus di tebus konsumen 14,880 juta
setelah di bebankan biaya bbn, ppn yang dibayar konsumen dan tentu margin kotor
(keuntungan dealer), selisihnya mencapai
4,5 juta (harga on the road – harga faktur).
Akibat dari putusan ini pihak yamaha kabarnya akan mengevaluasi ulang investasi di Indonesia, sedangkan honda masih adem ayem menyikapi putusan, akan tetapi keduanya sepakat mengajukan banding. Secara tidak langsung memang akibat putusan ini iklim investasi berpotensi terganggu khususnya sektor otomotif, hal ini justru sangat membahayakan mengingat dari data AISI setidaknya kurang lebih ada 2 juta lebih tenaga kerja di sektor otomotif ini.
Efek Persaingan, rivalitas atau kesepakatan
Sebenarnya tidak hanya
skutik saja, tapi juga motor lain macam bebek dan sport juga mengalami kenaikan
harga setiap tahunnya. Dari kaca mata awam saja setiap motor baru hampir semua
mengalami kenaikan. Kalau ada yang merujuk harga awal jual sampai harga
terkini, maka kenaikan yang di dapat masih wajar.
Lihat saja beat berapa harga
waktu pertama dijual tahun 2008 silam, tidak sampai 11 juta rupiah, lalu supra
x 125 cc yang kini harganya mencapai 16,5 juta berapa harga pertama launching
dahulu (2005 versi 125 cc), pun dengan vixion saat pertama kali launching
di 2007 silam (18 jutaan) dan kini
harganya mencapai 24 jutaan.
Lantas apa semua itu normal
?, tentu saja menurut bjr normal mengingat di setiap versi terbarunya sudah
pasti ada teknologi yang juga lebih maju seperti injeksi, desain yang fresh.
Ingat juga inflasi setiap tahunnya juga sangat mempengaruhi naiknya harga
motor.
Terlebih juga rivalitas
antara Honda dan Yamaha memang bukan rahasia lagi, keduanya kerap adu fitur,
adu peforma. Keduanya menawarkan kebaruan, dan saling sikut bahkan teman bjr
menganggap kalau Honda dan Yamaha itu ya ibarat Real Madrid vs Barcelona,
saling berlomba untuk jadi yang terbaik di segala sisi dan aspek.
Lantas rivalitas keduanya
dianggap kartel ?, ah itu terlalu prematur untuk di simpulkan mengingat
konsumen lah yang diuntungkan karena dengan saling berlomba konsumen ada
pilihan lebih banyak. Semua itu lebih ke arah tuntutan pasar, dan menjaga agar
tetap bergairah.
Belum lagi trend pasar
Indonesia yang konsumennya seperti cepat bosan, ini hal yang positif
sebenarnya, tengok saja di saat cbr 150 global masih setia dengan desain lampu
sempak, di Indonesia sudah lebih ciamik desainnya,
lalu cbr 250 cc di luar sono mash satu silinder di mari 2 silinder.
Atau dari yang sederhana
sekalipun, yaitu warna dan striping, di Indonesia paling kurang dari 2 tahun
sudah harus ganti warna dan striping dan tak jarang sedikit ubahan (minor
facelift), malah ada motor yang setiap tahun ganti striping, itu semua untuk
menjaga agar market tidak lesu.
Sederhananya saja memang
konsumen mau di sodori pilihan motor-motor itu saja, kalau mau menjaga agar dapur
pabrikan tetap ngebul (hidup) sudah pasti harus mampu bersaing dengan pabrikan
lainnya. Seperti halnya megapro - vixion - cb150r – nvl – ncb – nva rentetan
tersebut setiap gerakannya harus direspon, kalau mau tetap laku tentu pabrikan
harus survive, perkara pabrikan lain
tidak ikut nyemplung/ bersaing ya itu urusan mereka, tapi satu hal yang perlu
di tekankan
“rivalitas dengan kesepakatan itu berbeda, tapi lebih tepatnya bersepakat untuk bersaing berlomba untuk jadi yang terbaik”
Perlu diingat juga untuk survive memang butuh modal loh, kalau
ada yang bilang pabrikan lain kalah modal mah itu hal yang absurd, cobahlah
menjadi seperti Atletico Madrid diantara Real Madrid dan Barcelona, biarpun
kalah modal, tapi tetap bisa bersaing dan berbicara banyak.
Semoga Bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar