sumber gambar |
Halo Brosis
Fenomena pelajar naik motor
ke sekolah sebenarnya sudah bukan sebuah hal yang baru, hanya akhir-akhir ini
di tempat bjr tinggal yakni Sidoarjo sedang hangat pembicaraan mengenai pelajar
naik motor ke sekolah.
Tentu saja tidak asap jika
tidak ada api, pemicunya yaitu adanya korban jiwa pelajar tewas tidak hanya
satu, atau dua, bahkan beberapa minggu sebelum ujian akhir semester hampir
setiap minggu ada saja korban kecelakaan yang melibatkan pelajar.
Rata-rata korban meninggal
dunia penyebabnya adalah tidak memakai pelindung kepala alias helm, sebuah
standart yang sebenarnya sangat dasar yang harus di lakukan oleh pengendara
motor.
Okelah sebenarnya ini sebuah
pro kontra yang kembali menghangat karena ada sebabnya, tapi dari sudut pandang
bjr sebagai penulis ulasan ini tidak sesederhana mempublish, menyalahkan atau
bahkan menghakimi, tapi beberapa sebab bisa dari hal lain yang di kira
memudahkan bahkan kita sebagai orang dewasa pun tak jarang melakukannya.
Alasan naik motor ke sekolah
Tentu saja berangkat ke
sekolah membawa motor bukan tanpa alasan, setidaknya ada beberapa alasan yang
mendasari mulai dari
- jarak ke sekolah yang jauh
- sekolah tidak menyediakan jasa antar jemput
- orang tua sibuk bekerja, sehingga tidak ada yang mengantar
- minim angkutan umum yang melewati jalur rumah ke sekolah
- gengsi antar pelajar
jika dilihat dari beragam
alasan di atas, beberapa menurut bjr amat sangat logis, mungkin jika di telaah
secara mendalam hanya alasan terakhir saja yang merupakan alasan subjektif
pelajar, lainnya jika dilihat kondisi rillnya bjr akan amini “Iya”, setidaknya
itu yang pernah bjr alami dahulu dan sampai sekarang hampir tidak ada perubahan
saat bjr lihat.
Angkutan Umum ? No, Bus
Khusus Pelajar ? YES
Setidaknya di tempat bjr
angkutan umum saat ini sudah hampir di titik nadirnya, bukan tanpa sebab memang
karena saat ini orang lebih suka menggunakan kendaraan pribadi dari pada naik
angkutan umum. Lupakan trans Jakarta
yang melalui banyak rute di ibukota, kalau di kota kota kecil macam tempat bjr,
boro2 trans Jakarta wong naik
angkutan umum sekelas bemo saja hanya ditemui di jalan perkotaan itu pun
lajunya kalem2 karena macet di jalan semakin menggila setiap harinya.
Belum lagi kebiasaan buruk
angkutan umum yaitu “ngetem” alias nunggu penumpang agak penuh baru berangkat,
bisa dibayangkan sebagai pelajar “sudah” berangkat pagi eh angkotnya malah
ngetem nunggu penumpang, gimana perasaan brosis. Belum lagi sampai sekolah
telat, terus dihukum kena poin, lengkaplah derita.
So untuk angkutan umum
berharap pada angkot dan sejenisnya bagi pelajar rasanya sudah tidak rasional
lagi, selain gerah waktu terkadang juga gerah tenaga dan pikiran. Solusi
rasionalnya tentu menyediakan angkutan bus khusus pelajar yang disediakan pemerintah,
tidak hanya bus tapi rute di perbanyak yang mencakup rute dekat sekolah2, dan
kalau bisa gratis, kalaupun berbayar harus sangat terjangkau bagi pelajar, dan
alhamdulillah pemerintah daerah di bjr sudah (akan) menyediakan bus khusus
pelajar, semoga berjalan lancar dan terealisasi.
Jarak Ke Sekolah Jauh
“Seberapa sih jauhnya wong
ibuk/ bapakmu dulu sekolah ngontel kalau nggak jalan” itulah kata2 yang kerap
menjadi alasan klasik orang tua. Dan jawaban ngelesnya pasti “Iya itu dulu
jaman bapak/ibuk saat motor masih jarang (karena mahal), mobil masih beberapa,
dan angkutan umum masih relevan digunakan, atau kalau nggak, banyak teman yang
masih ngontel dan juga jalan kaki.”
Lah sekarang ya pasti ogah
ke sekolah jalan kaki atau ngontel. Okelah kondisi diperparah saat orang tua
menyekolahkan anaknya tidak melihat dahulu jarak rumah ke sekolah jauh
dekatnya, tak jarang pula ada yang sampai di kota tetangga hanya untuk mengejar
sekolah favorit atau sekolah negeri.
Atau kalau sederhana masih
dalam lingkup satu kabupaten, tapi jaraknya sudah sampai belasan atau bahkan
puluhan kilometer. Saat sma tidak sedikit teman bjr yang jarak rumah ke
sekolahnya terbilang jauh untuk ukuran anak sma yang terjauh sampai 17 km (34
PP), solusinya ya Cuma naik motor, untungnya teman sekelas bjr itu safety pakai
helm, sarung tangan, jaket.
Solusi sederhana sebenarnya
adalah adanya batas jarak rumah-ke sekolah, caranya ? ya batasi ruang pendaftaran siswa negeri
hanya maksimal 2 kecamatan terdekat dari sekolah untuk sma, dan 1 kecamatan
terdekat dari sekolah untuk smp tapi patokannya tempat tinggal/ rumah siswa,
jangan KTP orang tua, kalau ktp mah bisa bohong seperti ktp Surabaya tinggal di
Sidoarjo tapi sekolah di sekolah negeri di Surabaya.
sumber |
Peran Sekolah
Bjr sangat mengapresiasi
sekolah-sekolah saat ini yang tidak mendukung dengan (TIDAK) menyediakan lahan
parkir motor siswa di sekolah, tentu ini langkah sederhana yang sudah
sepatutnya di tiru sebagai bentuk larangan pelajar membawa motor. Meskipun ada
beberapa sekolah yang malah menyediakan parkir bertingkat di dalam sekolah
untuk kendaraan bermotor siswa (bjr prihatin).
Atau kalau mau yang ekstrim
pun bisa mencontoh hal baik dan tegas seperti di Purwakarta yang memberlakukan
peraturan pelajar tidak boleh bawa motor, nekat bawa motor sanksi tidak naikkelas ,tentu ini bisa di contoh oleh kepala daerah yang lainnya untuk melindungi
generasi muda mati sia-sia di jalan.
Faktor Lain
Saat ini memperoleh
kendaraan pribadi sudah terbilang amat sangat mudah bagi masyarakat, tak lain
karena skema kredit yang terlalu memanjakan konsumen hingga membuat masalah di
sisi lainnya. Dahulu kredit motor masih jarang sekali, hingga awal 2000 an
sudah mulai marak beli motor dengan skema kredit.
Sampai pada saat ini tak
jarang kita temui kredit dengan uang muka 500 ribu, 200 ribu bahkan tanpa dp
sekalipun konsumen bisa dengan mudah mendapatkan motor. Serba salah memang di
satu sisi banyak uang yang berputar baik itu dari produsen sendiri, pemerintah
(lewat pajak), bahkan dari bengkel yang merawat kendaraan sekalipun turut mendongkrak
perputaran uang yang mengakibatkan perekonomian semakin membaik.
Akan tetapi jumlah
kendaraan yang menjamur tidak dibarengi
dengan sarana dan prasarana yang memadai, belum lagi kondisi jalan yang tidak
sebanding perkembangannya dibandingkan perkembangan jumlah kendaraan tentu menjadi
sebuah masalah tersendiri. Di Jawa Timur perbandingan pertumbuhan kendaraan
dengan jalan adalah 17 % (motor dan mobil) dibanding KURANG DARI 1 % (BPS 2013).
Lebar Jalan tak seberapa
kendaraan tambah menggila jumlahnya, angkutan umum pasti sulit bergerak, dan
pengendara yang tak matang emosinya tak jarang juga celaka, tak terkecuali
rider muda alias belia yang terkadang meregang nyawa di jalan raya.
So menurut bjr mendorong
masyarakat menggunakan (kembali) angkutan umum tanpa membatasi kendaraan
pribadi rasanya amat sangat sulit dilakukan, istilahnya memadamkan api dengan
minyak tanah, ujung2nya jalanan tambah penuh sesak.
Begitu juga dengan pelajar
yang sudah seharusnya tidak seliweran naik motor di jalan, tanpa helm, sim ?
apalagi, tak jarang motornya tanpa spion, ban cacing, knalpot brong.
Last sebenarnya tidak perlu
menyalahkan pelajar, memang belum waktunya karena belum punya sim. Akan tetapi
yang dewasa pun seharusnya perlu di warning juga, memang yang dewasa mau kerja
/ kuliah naik angkot, itu pejabat pemerintah napa kok gak naik angkutan umum
malah naik kendaraan pribadi yang segede gaban padahal isinya Cuma 1 atau 2
orang. Kalau begitu mah sama saja “pelajar” Cuma dijadikan objek yang di cari2
kesalahannya
apalagi ibuk2 yang sein kanan
padahal belok kiri.
cowboy cilik |
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar