googlef1d469d5fe68ebf6.html BangJoRu: Sederhana

Sederhana



“Sesuatu yang sederhana lebih mudah diterima dan dipahami”
Hujan tak juga reda disore menjelang senja yang seharusnya sebagai pertanda bagi sebuah keletihan dan buah dari kerja keras sepanjang hari,betapa tidak sangat lancang jika rasa letih sebagai efek dari menjalani hari yang berat sedari pagi hingga sekarang ditutup dengan guyuran hujan yang sangat deras.Untung saja hujan turun disaat aku dekat dengan rumah sanak saudaraku.
Bibiku menyambut aku dengan ramah,meski sebagian badan ini telah basah akibat guyuran hujan tapi tetap saja ia mempersialakan keponakannya ini berteduh dirumahnya.Anak bibiku yang hanya 5 tahun lebih muda dariku menghampiriku sambil membawakan secangkir kopi buatan ibunya,lalu ia duduk didepanku.

“Seharusnya apa yang terlintas dalam pikiran seseorang ketika sesuatu hal berlainan dengan jalan pikirannya?”
Tanya anak yang baru duduk dibangku kelas 1 SMA itu,mendengar pertanyaan seperti itu sebenarnya aku enggan menjawabnya,hanya saja berhubung aku ini sedang numpang berteduh dirumahnya sepertinya begitu keterlaluan jika aku tak menjawabnya
“Entahlah,setiap orang berhak menentukan pikirannya tersendiri tak  terkecuali meski juga hatinya berkecamuk menentang apa yang seharusnya tidak kita inginkan,mau tak mau kita harus terima”
“Berarti kita belajar munafik?” tanyanya lagi
“Tidak juga bisa dikatakan demikian,karena kita sebagai manusia yang memiliki ilmu seharusnya juga memiliki kesiapan bagaimana menghadapi sesuatu yang tidak sejalan dengan pikiran kita” kataku sambil mulai menyruput kopi hitam yang kurasakan terlalu manis itu.
Apa seharusnya demikian dilakukan oleh kita kaum terpelajar,bukankah waktu kecil dimanapun kita hidup keluarga kita pasti akan menjunjung tinggi sebuah kejujuran,entah bagaimana pun background sebuah keluarga yang pasti sejauh pikiran yang kuketahui tidak ada yang namanya orang tua mengajari anaknya untuk berbohong.
“artinya Sederhana saja,begitukah”
“Ya Sederhana saja,dan turuti kata hatimu”
Aku sempat sedikit tercengang bagaimana ia begitu tanggap maksud dari apa yang aku katakan,memang pernah kudengar dari cerita ayahku bahwa saudaraku ini memiliki otak yang encer,setidaknya lebih encer dari kakak perempuannya yang seumuran denganku yang hanya bisa keluyuran dan sibuk pacaran saja.
***
Suatu waktu teman masa SMA ku dulu pernah bertanya kepadaku “Bagaimana bisa kita sebagai anak muda tidak peduli atau acuh tak acuh terhadap kondisi sekitar kita yang jelas-jelas kita sebagai sesame manusia  seharusnya mampu memperbaiki atau setidaknya memberi sumbangsih bagaimana merubah kea rah yang lebih baik,bagaimana menurutmu?”
“Jangan membicarakan hal yang terlalu absurt untuk dibicarakan untuk ukuran anak yang masih memakai seragam putih abu-abu seperti kita ini” timpalku langsung saja tanpa keraguan.
“sudah jawab saja,matamu itu menunjukkan sebuah jawaban yang seharusnya bisa lebih luas”
Sejenak aku berfikir sambil menatap bagaimana raut wajahnya yang menatap antusias berharap menanti jawaban atau setidaknya dapat dikatakan sebuah pendapat dariku yang masih dalam pikirannya aku mempunyai wawasan yang luas.
 “Semua itu sebenarnya sederhana,jika hatimu berkata ingin melakukan perubahan ya lakukanlah jika tidak tentu sebaiknya tidak kau lakukan,untuk segi kaum terpelajar atau tidak semuanya berhak melakukannya atau tidak bagiku tidak setiap orang yang terpelajar harus melakukan perubahan,bahkan orang yang tidak lulus sekolah dasar pun halal-halal saja jika melakukan suatu perubahan untuk hal yang lebih baik”
“Selalu saja jawabanmu terlalu universal”
“Lantas aku harus menjawab bagaimana?”
“Seharusnya orang sepertimu memberi pertentangan bagaimana pertanyaan yang aku tanyakan padamu,terlebih kau kan pandai memainkan kata”
“Lantas jika dalam pikiranmu aku ini mempermainkan kata-kata harusnya aku harus menjawab pertanyaanmu dengan sebuah puisi,cerpen ataupun esai yang panjang lebar,sebenarnya aku lebih menyukainya kalau kau menyebutnya sebuah pendapat”
“Oke setidaknya  kau berikan pendapat yang lebih kritis”
“Pernakah kau berfikir bagaimana Casey Stoner bisa melaju sangat cepat,tahukah kau bagaimana teknik yang ia gunakan untuk menaklukkan Desmosedici yang jelas-jelas sukar dilakukan oleh pembalap lain?”
“Tidak,aku tidak tahu bagaimana teknik yang digunakan Stoner dalam menunggangi kuda besinya,akan tetapi aku tahu bahwa ia melaju dengan kecepatan yang sangat mengaggumkan”
“Itulah beberapa hal yang sepertinya luput dari perhatian kebanyakan orang sepertimu,dan hanya sedikit orang sepertiku yang mengetahuinya”
“Lantas memangnya kau tahu?”
“sederhana saja jika ia mampu menaklukan motor ducati dan melaju kencang diatasnya artinya teknik yang ia gunakan tidak dimiliki pembalap lain,”
“Lantas apa hubungannya dengan pertanyaanku tadi?”
Sejenak kuingat waktu itu tiba-tiba saja turun hujan,lantas kami pindah ke dalam rumahnya yang sederhana,setidaknya didalam suara gemericik air hujan mampu meredakan bagaimana sebuah argument dan statement yang kami utarakan.
“sederhana saja,jika kau mengiginkan sesuatu yang beda hal tersebut juga harus diiringi sesuatu yang berbeda pula,lihat bagaimana teknik  balap Stoner  Kaku,Keras,Cepat Egois pernakah kau melihat bagaimana waktu adegan slow motion yang ditayangkan di tv yang jelas-jelas ia melawan arus dimana ban depan kea rah kiri padahal jelas-jelas itu sebuah cornering ke arah kanan”
“Berarti Stoner Gila?”
“Tepat  ! ia gila,gaya balapnya lain dari pada yang lain tidak ada unsure mendasar bagaimana mengendarai motor berbanding 180 derajat dengan pembalap lain yang kekiri jika ke kiri dan kanan jika kekanan,hal tersebut hampir sesuai dengan  pendapat yang kau minta dariku bahwa tidak semua orang mampu berfikir dan memberi pendapat secara kritis pula artinya pendapat yang sederhana mampu membuat kita lebih mudah memahaminya”
“Tapi seharusnya kau mampu berpendapat dengan kritis di depanku,toh kita hanya berdua di rumah ini”
Jelas-jelas ia dusta,bagaimana ia melupakan teh hangat buatan ibunya yang membuat kami mampu melumasi tenggorokan ini dan memberi sedikit kehangatan di  waktu hujan begini.
“Aku lebih menghormatimu sebagai teman,dari pada menghormatimu sebagai orang yang haus dengan pendapat yang liar”
“apa itu berarti kau menganggapku dungu?”
“apakah orang dungu mampu mengiringku untuk berceloteh dari tadi?”
Sesaat yang ada hanya ada tawa kami berdua dan sejenak tawa itu pun mampu mencairkan suasana yang dari tadi sedikit terlihat  tegang meskipun hal yang kami bicarakan terlihat sedikit absurt untuk dibicarakan,secara tidak langsung aku pun berfikir waktu itu siapa yang dungu dan siapa yang lebih dungu dari orang dungu.
“Intinya sesuatu yang umum itu lebih aman untuk digunakan,dan tentunya lebih mudah diterima”
“Seperti Valentino Rossi yang masih diterima dan diagungkan sebagai dewa didunia balap meskipun ia kini tengah kewalahan mengendarai bekas motor kuri-kuri boy”
“Yap betul sekali bagaimana teknik balap Valentino Rossi yang lebih sederhana dan menghibur lebih mudah di terima dibanding Rear Wheel Stering Stoner yang jelas-jelas sama sekali tidak menarik bagi kebanyakan orang.Itu semua berbanding lurus jika diambil kesimpulan maka Rossi lebih umum dari segi pikiran dan Stoner mewakili pikiran yang kritis yang tidak semua orang suka”
Sambil meminum teh hangat ia sejenak bersantai bagaimana ia meresapi  rasa teh yang jelas-jelas kurasakan sedikit telampau manis itu atau ia sudah bersiap-siap memikirkan yang lain.
“Tidak bisakah kau menganalogikan semua hal itu tidak dengan sesuatu yang berhubungan dengan motor”
“Semua hal jika diperumpamakan akan  terlihat sederhana,tapi jangan salah jika menganalogikan sesuatu sangat rumit sebenarnya jika disamakan dengan motor tidak sesederhana seperti kelihatannya
“Oh jadi begitu ,setidaknya aku bisa menarik satu hal darimu”
“Apa?”
“Kau Tidak Pantas Menjadi Politisi !!”
Kembali kami berdua tertawa hingga hujan reda hampir tengah malam,hari itu berakhir dengan kesimpulan bagaimana sebuah pemikiran yang sederhana mampu membuat kita lebih mudah memahaminya,dan terkadang tidak perlu sesuatu yang terlalu kritis jika toh hati kita lebih mampu menerima yang sederhana.
“Aku juga dapat satu hal darimu berdasarkan percakapan ini?
Sambil mengrenyitkan mata aku mampu memahami bagaimana ia ingin tahu jawabannya
“Kau Pantas menjadi Vodoo”
“sialan!!” Katanya

***
Hujan yang sedari tadi serasa mengekangku dirumah bibiku ini terlihat sedikit demi sedikit mulai reda,kulihat jam dinding yang sudah menunjukkan jam 10 malam,artinya sudah 6 jam lebih aku numpang berteduh disini.
“Tidur saja disini le,lagian besok kan hari sabtu,kamu nggak kuliah kan” ujar bibiku
Sebenarnya aku enggan mengatakan Ya atas tawaran bibiku,akan tetapi badan ini rasanya sudah ingin rebah dikasur saja sejenak ingin meregangkan badan yang memang terasa letih ini,terlebih jarak untuk pulang masih terbilang jauh.
“Ya bulek” jawabku
Tak beberapa lama lalu aku rebahan di kamar,memang ini bukan kamar khusus tamu karena rumah ini sangat sederhana bisa rebahan saja aku sudah bersyukur,lalu terdengar bunyi suara pintu terbuka yang tidak lain adalah saudaraku.
“Maaf ngganggu Mas”
Aku tidak menyahuti perkataan maaf darinya dan hanya kubalas dengan senyuman sambil menatapnya sekilas,seharusnya aku yang meminta maaf karena rebahan diatas kasurnya tanpa meminta ijin darinya.
Kulihat ia menutup kembali pintu kamar dan  duduk diatas kursinya dengan membuka buku,dan ia masih menggenakan baju koko yang digunakan untuk pengajian beberapa waktu yang lalu.
“Setelah kupikir-pikir perkataan kakak tadi tidak kesemuannya benar”
Entah tiba-tiba saja ia berkata begitu,sepertinya ia mengetahui bahwa aku masih belum tidur meskipun mata ini sudah kucoba pejamkan beberapa kali.
“Maksudnya?”
“Seharusnya apa yang kita lakukan seharusnya harus sejalan dengan pikiran kita,jadi tidak serta kita sebagai manusia yang berilmu terprogram untuk menerima segala sesuatu yang sesuai dengan kenyataan,bahwa sahnya manusia juga bisa mengelak,dan melawan apa yang tak sejalan dengan pikirannya” katanya berkata dengan tidak menatapku.
“apakah statement itu sederhana?” tanyaku balik
“Sederhana dalam definisi kakak menerima bukan,atau bisa dikatakan lakukan saja yang umum dilakukan jangan terlampau ekstrim untuk melawan ”
Apa yang dikatakan anak ini memaksaku semakin menjauh saja dari alam mimpi dan seakan tak pernah lepas dari alam nyata.kuputuskan saja aku bangun dan duduk diatas kasurnya.
“Adakalahnya manusia itu mampu untuk berfikir dan mengutarakan sesuatu yang kritis tapi juga ada waktunya ketika berfikir umum itu adalah jalan terbaik”
Sesaat suasana kamar sedikit hening entah karena waktu yang mulai menunjukkan kejenuhan atau memang tak ada suatu balasan kata dari anak berumur 15 tahun itu.Lalu ia berbalik memandang kearahku dan tanpa segan menatapku sejenak sambil sesekali melihat bukunya,lalu ia berkata kepadaku dengan tatapan mata yang terfokus menatap buku.
“Di era sekarang manusia dituntut untuk berfikir kritis,meskipun aku paham berfikir kritis dalam definisi kakak berarti sama saja sukar untuk diterima oleh kebanyakan orang,akan tetapi berfikir kritis dengan dasar adalah sebuah pembeda yang membawa sebuah terobosan ke arah yang lebih baik” katanya dengan ekspresi santai
“Ok sah sah saja kau berkata demikian,toh sudah aku katakan tadi bahwa turuti apa kata hatimu,jika hatimu berkata seperti apa yang kau pikirkan its fine itu benar”
Setelah berkata begitu aku menguap,sepertinya otakku mulai gerah dengan apa yang dicarakan anak ini.Sebenarnya aku enggan untuk meladeni pembicaraan dengan bocah ini.
“Hidup tidaklah hidup jika tidak membuat kesalahan,jadi pada intinya seseorang perlu salah untuk hidup agar dari situlah sebuah pikiran kritis diperlukan,bukan pikiran sederhana yang terkesan main aman ataupun kata hati yang sebenarnya juga tidak jauh berbeda dari definisi main aman,” kali ini ia berbicara sambil menatapku,dan hal itu jelas saja menunda keinginanku untuk terlelap.
“Lebih mudah memperbaiki hati nurani yang buruk,daripada mengatasi reputasi yang hancur” kataku dengan sisa-sisa energy yang tersisa untuk menjaga mata ini tetap terjaga
Setelah aku berkata begitu,ia menutup bukunya yang baru aku sadari itu sebuah novel Supreme Courtship karangan Christoper Buckley,lalu ia mematikan lampu putih yang menerangi kamar dan menggantinya dengan bohlam lampu bewarna senja.
Kusadari bahwa anak bibi ku ini memang berbeda dengan anak kebanyakan,ia masih muda dengan pikiran yang dilihat dari apa yang dibacanya aku dapat menyimpulkan Pikiran anak ini Liar.
Lalu ia rebahan di  sampingku sambil menata bantalnya agar senyaman mungkin,ia hanya berkata padaku “Tidur dulu sudah malam” sambil berusaha memejamkan matanya.
Kutatap ia dengan mata sayu yang memang seakan ingin tertutup saja seperti yang ia katakan “Tidur” Sebelum tidur aku berkata kepadanya sebelum benar-benar tidur.
“Rud,Jangan Sampai ambisimu Mengalahkan Bakatmu”.
Sejenak kulihat ia membuka matanya menatapku dengan tiba-tiba setelah aku berkata begitu,Kusumpahi saja perkataanku barusan yang memungkinkan mengganggu tidurku untuk yang kedua kali.
Hingga tak kuhiraukan saja dan kututup mukaku dengan bantal dan tak kulihat lagi tatapan mata itu.

Surabaya,Desember 2012





Tidak ada komentar:

Posting Komentar